perilaku yang tercerahkan


PERILAKU YANG TERCERAHKAN

Manusia berangkat dari kesadaran diri akan petunjuk ilahi  yang akan memunculkan sifat dan sikap sabar, dari kesabaran akan menimbulkan sikap optimis, dari jiwa yang optimis ia tidak akan lupa diri bahwa segala sesuatunya yang ada di alam ini ada penguasanya. Oleh karena itu ia tidak akan pernah lepas dari pemasrahan kepada penguasanya melalui tawakkal. Jika segala sesuatunya telah di pasrahkan yang berkuasa atasnya maka akan muncul sikap tenag (sakinah), dan dri ketenangan ini puncak kebahgiaan akan di raihnya melalui predikat taqwa.
A.      Petunjuk Ilahi
Sesungguhnya kami telah menunjukannya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan adapula yang kafir (QS. Al – Insan : 3)
Al – Qur’an ketika menyebut fenomena alat dan isyarat kandungannya sendiri dengan sebutan ayat-ayat Allah, yang berarti tanda, yakni tanda-tanda pejalanan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hidayah berarti isyarat yang datang dalam jiwa secara halus. Allah memberikan hidayah-Nya kepada manusia melalui empat hal diantaranya :
1.       Prestasi yang diberikan oleh Allah kepada manusia yang berupa potensi yang mampu mengantarkan ia kepada kemaslahatan hidupnya, baik berupa akal dan segala bentuk kecerdikan berfikir.
2.       Petunjuk yang diberikan kepada manusia melalui do’a yang telah diajarkan lewat pengutusan para Rosul dan penurunan kiab suci.
3.       Bimbingan (Al – taufiq) yang di berikan kepada orang yang shalih setela ia melakukan suatu kebajikan.
4.       Petunjuk di akhirat nanti yaitu pemberian balasan surga.

Al-Qur’an mengecam mereka yang tidak menggunakan akal dan kalbunya unuk berfikir dan menghayati Al  - Qur’an. Mereka itu dinilainya telah tertutup hatinya;
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al – Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24).

Janganlah sikap kita terhadap ayat-ayat Allah seperti yang pernah dialami oleh umat-umat sebelum kita, yang antara lain dicatat dalam firman-Nya.
Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.
(QS. Al-Baqarah : 78).

Ibnu Abbas menafsirkan kata ummiyyun dengan arti tidak mengetahui makna pesan-pesan kitab suci, walau boleh jadi mereka menghafalnya. Mereka hanya berangan-angan atau “amaniyy” dalam istilah ayat diatas, yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan “sekadar membacanya”.
Keberadaan al-Qur’an ditengah-tengah manusia kadang-kadang bukan menjadi petunjuk, tetapi justru menjadi sesuatu yang sering kita acuhkan.
Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan”. (QS. Al-Furqan: 30).

Menurut Ibn Al-Qayyim, banyak hal yang dicakup oleh kata mahjura yang diterjemahkan dengan “sesuatu yang tidak diacuhkan”, antara lain:
1.       Tidak tekun mendengarkannya.
2.       Tidak mengindahkan halal dan haramnya, walau
3.       Tidak menjadikannya rujukan dalam menetapkan hukum menyangkut ushul al-din ( prinsip-prinsip ajaran agama ) dan rinciannya.
4.       Tidak berupaya untuk memikirkan dan memahami apa yang dikehendaki oleh Allah swt. yang menurunkannya.
5.       Tidak menjadikannya obat bagi semua penyakit kejiwaan.
6.       Semua yang disebut di atas tercakup dalam pengaduan Nabi Muhammad Saw.

B.      Sabar
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman:17)
Sabar diindikasikan pada ketahanan yang didasarkan pada dinamika jiwa. Dinamika tersebut mengacu pada dua hal; yaitu untuk berbuat yang menuju kepada sesuatu yang positif, dan untuk menahan dari sesuatu yang negatif. Sabar berarti menahan, puncak sesuatu dan jenis bebtuan yang keras. Dalam kamus Al-Qur’an, kata
 (Sabar) diartikan sebagai “menahan” baik dalam pengertian fisik-material,seperti menahan seseorang dalam tahanan (kurungan), maupun imaterial-nonfisik seperti menahan diri (jiwa) dalam menghadapi sesuatu yang diinginkannya.
Pengertian sabar sebagai “menahan diri atau membatasi jiwa dari keininannya demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik (luhur)”. Orang yang ditimpa malapetaka, bila ia mengikuti kehendak nafsunya, ia akan meronta, menggerutu dalam berbagai pihak: baik terhadap Tuhan, manusia, atau lingkungannya. Akan tetapi, bila dia menahan diri, dia akan menerima dengan penuh kerelaan malapetaka yang terjadi itu, mungkin, sambil menghibur hatinya dengan berkata,”malapetaka tersebut dapat terjadi melebihi yang telah terjadi” atau, “pasti ada hikmah di balik yang telah terjadi itu,” dan lain sebagainya, sehingga semuanya itu diterimanya sambil mengharapkan sesuatu yang lebih baik di kemudian hari. Di sini sabar diartikan “menerima dengan penuh kerelaan ketetapan-ketetapan Tuhan yang tidak terelakan lagi”, baik karena kondisi ketidakberdayaan, maupun dalam kondisi berdaya yang didasarkan atas kesadarn diri.
Dari segi kondisi kesabaran dapat dibedakan dalam dua hal yaitu kesabaran dalam melaksanakan suatu kewajiban dan segal kelaziman, dan kedua adalah sabar dalam mengelak dari segala larangan dan tidak kelaziman.kondisi pertama terlihat dengan terkekangnya segala dorongan hawa nafsu sehingga tidak memiliki untuk kontra. Sementara kondisi kedua tercermin dalam empat hal yaitu: sabar dalam ketaatan, sabar dalam meninggalkan kemaksiatan, sabar dalam berikhtiar dan sabar dalam kondisi luar ikhtiar hamba.

Dalam Al-Qur’an perintah bersabar sering dikaitkan dengan berbagai konteks, di antaranya adalah:
1.       Ketika menunggu ketentuan Allah, seperti dalam QS. Yunus 109:
Dan ikutilah apa yang diwayuhkan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya.

2.       Ketika menanti datangnya hari kemenangan, seperti disebutkan dalam QS. Rum: 60:
Maka bersabarlah kamu, sesunguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.

3.       Ketika menghadapi ejekan (gangguan) orang-orang yang tidak percaya, seperti disebutkan dalam QS. Thaha: 130;
Maka bersabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbilah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan
sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.

4.       Ketika menghadapi kehendak nafsu untuk melakukan pembalasan yang tidak setimpa, seperti disebutkan dalam QS. Al-Nahl:127-128:
Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlh kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlh kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesunguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebaikan.

5.       Ketika melaksanakan ibadah, seperti disebutkan dalam Thaha: 132:
Dan perintahknlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjaknnya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang member rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.

6.        Ketika menghadapi malapetaka, seperti disebutkan dalam QS. Luqman: 17:
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

7.       Ketika memperoleh sesuatu yang dibutuhkan, seperti disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 153 :
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat,sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Kesabaran yang dituntut oleh Al-Qur’an adalah kesabaran dalam usaha mencapai apa yang dibutuhkan. Salah satu perintah dini Allah adalah perintah bersabar. Inidikemukakan pada ayat ketujuh Surah Al-Muddatstsir yang merupakan wahyu kedua atau ketiga.
Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersbarlah. (QS. Al-Muddats-tsir: 7)

Menurut riwayat lain, perintah tersebut disertai dengan penekanan khusus, yakni bahwa kesabaran harus didasari oleh Li Rabbik (demi Tuhanmu). Kalimat ini menuntut agar kesabaran dilaksanakn semata-mata karena Allah Swt, bukan karena sesuatu yang lain, misalnya karena iming-iming pencapaian target.
Melalui kata Li rabbik, ayat ini ingin menegaskan bahwa yang dituntut adalah pelaksanaan perintah Allah dengan penuh ketabahan dan kesabaran, apa pun. Hasil yan dicapai.

C.   Optimis
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.(QS. Alam Nasyrah: 5-6)
Apabila ia ditimpa  kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.(QS. Al-Ma’arij:20-23)
Biasanya keputusan sering kali dialami oleh mereka yang penah merasakan nikmat disbanding dengan mereka yang belum merasakanya. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur’an:
Untuk menghadapi setiap kesulitan demi meraih kesuksesan Al-Qur’an memberikan cara yaitu  melalui ketabahn dan do’a.
Sabar dan shalat yang dijadikan wasilah untuk mencapai kesuksesan dalam ayat tersebut, karena kesabaran akan berfungsi untuk mengendalikan nfsu menuju keridlaan Allah.
Selanjutnya syarat kedua yang hrus membarengi usah di atas adalah do’a. Do’a merupakan manifestasi dari harapan kita kepada-Nya dan bukti optimism merupakan antonym dari pesimesme (keputus asaan).
Oleh karena itu, ingatlah bahwa anda salah bila jemu berdo’a sabil berusaha, karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudhan, dan ingat pulalah bahwa datangnya malam bukan berarti matahari tidak akan terbit lagi. Yang menduga demikian adalah orang yang berpuitus asa, semacam kaum musyrik Makkah

D.      Tawakkal
Tawakkal adalah berpasrah atau berpasrah diri. Dalam hal ini Al-Qur’an menyebut langsung terminologi tawakkal dalam ayat di antranya adalah:
Dan hanya kepada Allah saja Orang-orang yang bertawakkal, jika kmu benar-benar orang yang beriman “. (Al-Maidah: 23)
Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri” (Ibrahim : 12)
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (Ali Imran :159)
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki ) Nya. Sesunguhnya Allah telah mengdakan ketentuan bagi tiap-tiap seuatu. (Al-Thalaq: 3)
Dari segi etimologi, tawakkal berarti menyadarkan suatu urusan epada yang lain, hal ini dalam bahasa kita sering disebut “mewakilkan”, yang selanjutnya dari kata tersebut juga terbentuk kata wakil.
Menjadikan Allah sebagai wakil (mewakilkan kepada Allah), dengan makna di atas, berarrti menyerahkan kepada-Nya segala persoalan. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan “kehendak” manusia yng menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya. Tawakkal bukan berarti penyerahan mutlak kepada Allah, tetapi penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi.
Ketika seseorang menjadikan Allah sebagai wakil (bertawakal) mengharuskan orang tersebut untuk meyakini bahwa Allahlah yang mewujudkan segala sesuatu yang terjadi di alam raya, sebagai mana dia harus menjadikan kehendak dn tindakannya sejalan dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang Muslim dituntut pula untuk berserah diri kepada Allah. Dia dituntut melaksanakan kewajibanya, kemudian menanti hasilnya sebagai mana kehendak dan ketetapan Allah.
Dalam pandangan kaum sufi, tawakkal dapat dibedakan menjadi tiga tingkat. Pertama, bagaikan penyerahan diri seorng tersangk kepada pengacara(pembelanya). Kedua, penyerahn seorng bayi kepada ibunya. Ketiga, penyerahan diri mayat kepada yang memandikannya.
Dari sini jelas bahwa Al-Qur’an, melalui peritah bertawakkal, bukannya menganjurkan agar seseorang tidak berusaha atau mengabaikan hukum-hukum sebab dan akibat. Tidak! Al-Qur’an hanya menginginkan agar umatnya hidup dalam realita, suatu realita yang menunujukkan bahwa tanpa usaha tak mungkin tercapai harapan anda, maka usahaknalah agar anda menerimanya,” demikian ungkap seorang arif.

E.      SAKINAH
Kata “sakinah” terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-sin,kaf,dan  nun yang mengadung makna ketenangan, atau antonym dari guncang dan gerak. Rumah dinamai maskan karena ia adlah tempat, untuk meraih ketenangan setelah sebelumnya penghuniya bergerak., bahkan boleh jadi mengalami keguncangan di luar rumah.
Dalam QS. Al-Fath : 26, kata sakinah disinggung lagi dalam kontks uraian tentang perjanjian Hudaibiyah, yang butirnya terlihat sangat merugikan umat Islam sehingga menimbulkan rasa cemas dan ketersinggungan yang mengundang protes.
Hal ini dikarenakn merka datang dari Madinah dengan tujuan beribadah dan melaksanakan umrah di Makkah, tetapi dihadang dan dilarang melaksanakanya hingga tahun depan.
Ada yang perlu digaris bawahi dari ayat di atas bahwa “sakinah” itu diturunkan  Allah karena ada kesiapan mental, atau  tanah subur yang siap menerimanya. Upaya mereka menekan gejolak nafsu untuk membangkang perinatah Nabi Saw. Dan menolak perjanjian, apalagi menghadapi keangkuhan kaum musyrik, adalah bukti kesabaran dan ketakwaan mereka sehingga Allah sendiri yang menilai kepatutan mereka menyandangnya.
Allah telah menurunkan faktor-faktor yang dapat melahirkan sakinah di dalam kitab suci-Nya. Hal ini seperti dalam QS. Al-baqarah: 248:
Dan Nabi mereka mengatakan kepad mereka:”sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabu kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari tuhanmu”.
Dalam ayat tersebut, kata tabut  adalah kotak yang di dalamnya terdapat du lempengan, berisi sepuluh ayat yang kedudukannya sama dengan  al-fatihah dalam Al-Qur’an.
Al-Fatihah menyimpulkan seluruh kandungan Al-Qur’an . akan tetapi, menjadikan Al-Fatihah sebagai tabut yang berfungsi sebagai perisai adalah dengan menghayati makna-maknanya dan melaksanakan kandungan pesan-pesannya. Ketika itu, ia akan menjadi tabut yang di dalamnya terdapat sakinah bagi orang yang mengindahkan tuntunannya.
Para pakar bahasa menegaskan bahwa kata sakinah tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan ketentraman setelah adanya gejolak. Akan tetapi sakinah tidak datang begitu saja, ada syarat bagi kehadirannya. Kalbu harus disiapkan dengan kesabaran dan ketaqwaan. Sakinah baru diperoleh setelah melalui beberapa fase. Bermula dari menggosokan kalbu dari segala sifat tercela,dengan jalan mengakui dosa-dosa yang telah diperbuat, kemudian “memutuskan hubungan” dengan masa lalu yang kelam, dengan penyesalan dan pengawasanketat terhadap diri menyangkut hal-hal mendatang, disusulah dengan mujahadah (perjuangan)melawan sifat-sifat jiwa tercela dengan mengedepankan sifat-sifatnya yang terpuji, mengganti yang buruk dengan yang baik, seperti kekikiran dan kedermawanan.
Kondisi itulah yang mengantar kepada kesadaran bahwa pilihan Allah adalah yang terbaik.saat itu, pasti kecemasan betapapun hebatnya akan berubah menjadi ketenangan, dan ketakutan betapapun mencekamnya akan beralih menjadi ketentraman itu adalah tanda bahwa sakinah telah bersemayam didalam kalbu.
Sakinah bukan sekedar terlihat pada ketenangan lahir yang tercermin ada kecerahan air muka, sebab, yang demikian ini bisa muncul akibat keluguan, ketidaktahuan atau kebodohan. Akan tetapi, isi terlihat pada kecerahan air muka yang disertai dengan kelapangan dada, budi bahasa yang halus, yang dilahirkan oleh ketenangan batin. oleh karena itu ketika Al- Qur’an menjelaskan ciri-ciri ibadurrahman di antaranya adalah lapang dada, tabah, tenang dalam menghadapi segala situasi.
Orang yang jiwanya dihias dengan sakinah, pasti tidak banyak bicara, tetapi banyak berpikir. Sederhana dalam hidup, tetapi sangat teliti dan baik dalam penampilan dan kerjanya, sifat-sifat tersebut dapat disimpulkan dalam satu kata, maka yang terpilih adalah sakinah.
Jika akhlak dalam pandangan sementara filosofi diatas hanya sekedar untuk mengatur hubungan seseorang dengan orang lain, maka akhlak dalam pandangan agamawan adalah ajakan untuk mencapai uncak evolusi keruhanian manusia. Pencapaian ini, antara lain, menghasilkan keserasian dan keharmonisan hidup bermasyarakat.
Itulah sakinah yang pernah turun kepada Nabi dan sahabt-sahabat beliau.Dan tetap akan turun kepada orang-orang mukmin,betapapun besarnya kesulitan dan mencekamnya keadaan.

F.       Taqwa
Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan menukupkan (keperluan) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (QS.Al-Thalaq:2-3)
Ulama’ berpendapat bahwa kata taqwa, terambil dari akar kata waqa-yaqi yang bermakna “menjaga (melindungi ) dari bencana atau sesuatu yang menyakitkan”. Ada ungkapan yang dinilai oleh sementara ulama sebagi sabda Nabi SAW. Yang menyatakan, ”Al-taqi muljam” ( orang yang bertakwaitu terhalang / terkendali lidahnya) mengandung arti kehati-hatian. Taklwa adalah pesan Tuhan yang diamanatkan kepada para pendahulu dan generasi mendatang.
Al-Quran menggunakannya kata taqwa dalam arti himpunan segala kebajikan dan pesan agama, Karena ia merupakan sarana yang melindungi manusia dari segala bencana.
Kata takwa terulang dalam al-Quran sebanyak lima belas kali. Perintah untuk bertakwa (ittaqu) terulang sebanyak 69 kali.
Ada sisipan kata yang terdapat antara “ittaqu” dan “Allah”, yaitu “siksa” atau yang semakna dengannya sehingga perintah untuk bertakwa kepada Allah berarti perintah untuk berlindung dari siksa-Nya, Muhammad Abduh membagi siksa Allah menjadi siksa duniawi akibat pelanggaran terhadap hokum-hukum-Nya yang berlaku didunia, dan siksa ukhrawi yang merupakan akibat pelanggaran terhadap hokum-hukum syariat-Nya.
Kata al-muttaqun (orang-orang yang bertakwa) terulang didalam al-Quran sebanyak  enam kali, dan al-muttaqin sebanyak empat puluh tiga kali. Terdapat tiga ayat dari jumlah itu yang dapat mewakili ayat lain dalam menjalaskan sifat0sifat yang disandang oleh seseorang yang bertakwa.
Pertama, dalam QS Al-Baqarah:1-5
Kitab (Al Qu’ran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yag bertakwa, mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada kitab  (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
Dalam QS. Al-Baqarah1-5 sifat-sifat orang muttaqin di antaranya :
1.       Percaya kepada yang gaib
2.       Melaksanakan shalat dengan baik dan bersinambung
3.       Menafkahkan sebagian dari rezekinya yang mereka peroleh
4.       Percaya kepada Al-Quran dan kitab-kitab suci sebelumnya 
5.       Percaya akan kehadiran hari kiamat
Kedua, dalam QS.Al-Baqarah:177

Bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah ,hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta ,dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikkan sholat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan ,penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Dalam ayat ini dikemukakan beberapa sifat lain setelah menggaris bawahi bahwa bukanlah menghadapkan wajah ke arah timur atau barat yang dinilai sebagi suatu kebaktian, tetapi kebaktian adalah hal-hal yang dilakukan oleh mereka yangbertakwa. Sifat-sifat tersebut adalah :
1.       Percaya kepada allah,hari kemudian,malaikat,kitab-kitab suci serta para Nabi.
2.       Memberikan harta yang dicintai (secara tulus) kepada kerabatnya,anak-anak  yatim,miskin,dan lain-lain serta memerdekakan orang-orang yang terbelenggu (hamba sahaya.
3.       Melaksanakan sholat dan menunaikan zakat
4.       Menepati janji apabila berjanji
5.       sabar dalam kesempita,penderitaan,dan peperangan
Ketiga, dalam QS. Ali ‘Imran:133-136
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan dari surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahuinya.
Dalam ayat ini ditemukan sifat–sifat sebagai berikut:
1.          Menafkahkan harta, baik dalam keadan sempit maupun lapang
2.          Mampu menehan amarah, memaafkan orang lain, dan berbuat baik (terhadap siapa yang pernah meluki hatinya)
3.          Sadar dan bertaubat dari dosa besar yang dilakukannya
4.          Tidak berlanjut melakukan dosa setelah mengetahui bahwa yang demikian adalah dosa
Dari ayat-ayat diatas diketehui bahwa orang yang bertakwa pastilah beriman.Kesempurnaan sifat-sifat orang beriman diuraikan,anatar lain:
Dalam QS AL-Mu’minun:1-11:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)orang-orang yang khusyu’ dalam sholatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan)yang tiada berguna,  dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannnya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.  Dan orang-orang yang memelihara amana-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,  (ya’ni) yang akan mewarisi surga Firdaus.  Mereka kekal didalamnya.
Dari beberapa ayat yang di angkat di atas, dapat disimpulkan tiga kelompok sifat pokok orang bertakwa,  yaitu (a) iman, (b) pengamalan syariat dan (c) berakhlak mulia.
Iman kepada yang gaib tidak hanya sekedar mempercayai wujud dan keesaan Allah, adanya para malaikat,  tetapi juga mempercayai kandungan kitab suci menyangkut hal-hal yang tidak dapat terjangkau hakikatnya oleh nalar.
Allah akan menjadikan orang yang bertakwa banyak hal dalam kehidupan dunia, disamping surga yang dijanjikan di akhirat nanti di ataranya:
Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (QS.Al-Thalaq:2)
Mereka yang diampuni dosanya dan dilipat gandakan pahalanya pastilah akan masuk ke surga-Nya. Sebab, surga memang disiapkan untuk orang-orang yang bertakwa.
First